yayasanhadjikalla.or.id – Bagi sebagian orang, tugas belajar hanya dijadikan sebagai alat untuk meraih kelulusan di salah satu perguruan tinggi yang digeluti, setelahnya semua yang dipelajari hilang dan tidak memiliki nilai guna untuk masyarakat. Sangat berbeda dengan beberapa orang yang saya temui, ia menjadikan belajar sebagai perjalanan hidup.

Saat saya kuliah pascasarjana (S2) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tahun 2007, beberapa teman kami di jurusan Administrasi Pendidikan berasal dari Papua. Mereka mendapatkan beasiswa tugas belajar dari masing-masing Pemerintah Daerah (Pemda). Selama kuliah, mereka kontrak rumah di KPAD (Kompeks Perwira Angkatan Darat) Daerah Geger, Kalong, Bandung.

Ada yang menarik dari kehidupan mereka selama tugas belajar. Mereka sangat serius menjalani kuliah, sehingga bisa lulus tepat waktu. Tesisnya juga tidak asal selesai. Pak Isak Torobi yang paling senior di antara mereka, meneliti tentang sekolah berasrama dengan pendekatan kualitatif. Mengapa? Pak Isak ingin hasil penelitiannya betul-betul bermanfaat untuk memperbaiki sekolah atau mendirikan sekolah berasrama di daerahnya. Berbeda dengan kami yang tesisnya umumnya asal jadi agar cepat selesai.

Empat tahun setelah menyelesaikan studi, Pak Isak sempat menelpon kepada saya. Dengan sangat gembira, ia menceritakan apa yang telah mereka lakukan setelah kuliah. Mereka telah mendirikan kampus di daerahnya karena ‘tiba-tiba’ ada puluhan master alumni UPI dan memenuhi syarat untuk mendirikan kampus. Turut senang saya mendengarnya, perjuangan mereka semasa di Bandung telah berbuah manis.

Itulah hasil dari tugas belajar yang memiliki ciri-ciri tertentu. Apa saja ciri-cirinya? Tugas belajar itu ada batas waktunya, tidak mungkin selamanya. Karena memiliki batas waktu, maka orang yang sedang tugas belajar betul-betul memiliki target dan rencana studi yang ketat. Mereka juga memanfaatkan waktu dengan baik, karena jika sampai batas waktu yang ditentukan, mereka belum menyelesaikan maka beasiswa akan dicabut. Oleh karena itu mereka rela ‘menderita’ belajar siang dan malam.

Selama tugas belajar, mereka adalah perantau bukan penduduk asli dan pasti sangat merindukan untuk segera kembali ke kampung halaman. Tapi, mereka tidak ingin pulang sebagai pecundang. Mereka ingin pulang sebagai pemenang. Pulang dengan gelar dan menikmati hasil perjuangan di kampung halaman dan berbuat untuk masyarakat sebagai implementasi ilmu yang telah dipelajari.

Gambaran tentang tugas belajar sama dengan perjalanan hidup kita. Hidup di dunia ini ada batas waktunya, tidak untuk selamanya. Setelah batas waktu selesai, kita harus kembali ke hadirat Allah. Jadi, dunia ini hanya tempat tinggal sementara. Tempat tinggal sebenarnya ada di negeri akhirat.

Tentu kita tidak ingin saat pulang kampung (ke negeri akhirat) dengan predikat gagal. Kita ingin pulang sebagai orang yang berhasil. Berbekal iman dan amal shaleh yang dengannya kita kembali bertemu dengan Allah dalam keadaan jiwa yang tenang dengan penuh kebahagiaan.

Oleh karena, mari gunakan dengan baik kesempatan hidup di dunia ini. Jangan terpedaya oleh kesenangan yang semu. Pahami dengan baik tugas kita di dunia ini. Niatkan segala aktivitas kita sebagai ibadah kepada Allah dan wujud syukur kita atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya. Berbuatlah agar dunia menjadi lebih baik melalui amal shaleh yang bermanfaat untuk orang lain. Semoga dengan itu, kita masuk dalam kategori orang-orang yang sukses dunia dan akhirat.

Penulis: Syamril