Adalah suatu kemampuan luar biasa dalam diri guru, bila ia mampu menggugah rasa cinta anak didiknya akan daya cipta kreatif dan ilmu pengetahuan. -Albert Einstein

Ketika langkah kaki memasuki gerbang sekolah, terlihat anak-anak masih berkeliaran di luar kelas, nampaknya mereka hanya bermain saja. “Apakah gurunya tidak datang lagi ?” ucapku dalam hati. Pikiran itu terbesit karena hasil survei yang kami lakukan sebelumnya menunjukkan bahwa pengajar sekolah jarang memenuhi tugasnya, sehingga para siswa terbengkalai.

Sambil memandangi mereka satu persatu, tampak seorang guru keluar dari kelas dan menghampiriku. Aku dan Tari memperkenalkan diri sebagai sarjana pendamping yang melanjutkan program Desa Bangkit Sejahtera (DBS) pada tahun kedua. Kami pun berbincang dengan guru yang akrab disapa Arfah ini.

Beliau mulai bercerita tentang keadaan sekolah. Jumlah siswanya sebanyak 98 orang dan guru PNS sebanyak 6 orang.  Sayangnya, ketika kami berkunjung, hanya pak Arfah yang mengajar di 6 kelas dan seorang guru olahraga yang kami temui sedang sibuk memperbaiki fasilitas sekolah.

Ini kunjungan aku yang ketiga. SDN Biring Romang kondisinya masih sama. September yang lalu, aku bertemu dengan seorang guru yang juga menangani 6 kelas sekaligus. Menurutnya, guru yang lain mengikuti pelatihan, ada yang sedang izin karena acara keluarga dan ada juga yang tanpa keterangan.

Jika guru tidak datang, siswa yang hadir menghabiskan waktu dengan bermain. Berkeliaran di halaman sekolah dan membuat keributan. Aktivitas guru biasanya mendikte, memberi tugas menulis setelah itu tugas guru selesai dan waktunya dihabiskan entah dimana. Menjadi seorang pengajar, apakah hanya sekedar menggugurkan kewajiban atau sekedar kebetulan saja mereka terangkat jadi guru tanpa passion seorang pendidik, gumamku lagi yang mulai bergejolak melihat realitas ini. Sungguh miris! Jika semua orang berhak untuk mengenyam pendidikan, lalu bagaimana dengan mereka yang menggantungkan ilmu dari seorang guru yang kurang memiliki kepeduliaan untuk mengabdi.

Tak hanya itu, SDN Kayu Colo yang letaknya tidak jauh dari SDN Biring Romang juga sama. Seorang guru bernama Nursida mengajar 6 enam kelas. Kepala Sekolah jarang datang karena alasan rumahnya jauh. Satu orang guru berstatus PNS adalah guru olahraga yang tidak bisa mengajar selain dari bidangnya. Wajar saja jika anak SD di level kelas 3 – 6 masih banyak yang tidak bisa membaca. Kondisinya, siswa tidak bisa membaca tapi pandai menulis, karena mereka hanya mengandalkan dari temannya yang lain tanpa ada seseorang yang memandunya untuk belajar.

Aku teringat dengan pendidikan masa sekolah dasar di Makassar. Tepatnya, pada tahun 1998-2004. Aku bersyukur,  karena pendidikan yang kuperoleh jauh lebih baik dari keadaan dua sekolah ini.

Aku dan Tari berinisiatif untuk mengajar di kelas 3 dan 4 SDN Kayu Colo. Sepuluh menit berlalu, anak laki-laki sudah mulai keluar masuk dan tidak memperhatikan pelajaran. Menurut Ibu Nursida, itu sudah menjadi kebiasaan anak-anak jika tugas menulisnya selesai, tanpa permisi mereka berkeliaran dan bermain dengan kawannya. “Tidak ada cara dapat kami lakukan, terkadang saya mengambil sepotong kayu dan menakuti mereka sambil mengajak masuk kedalam kelas,” ujar ibu paruh baya ini sambil geleng-geleng kepala. Hampir setiap hari saya melakukannya, lanjutnya.

Yang paling menyedihkan, ketika Ibu Nursida sakit. Anak-anak tidak belajar seharian dan hanya menghabiskan uang saku yang diberikan orangtua di rumah.  Lalu siapa yang mengajar para siswa ? dimana guru yang lain ? kemana tanggung jawab mereka? Jika mendidik bukan passion dari seorang guru maka pendidikan mustahil akan lebih baik. Refleksi bagi diri dan orang diluar sana yang peduli akan pendidikan orang desa.

Penulis: Suryani Dewi, Sarjana Pendamping DBS Yayasan Hadji Kalla, Desa Ujung Bulu, Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto. Selain aktif mendampingi masyarakat pedesaan, perempuan yang akan mendapatkan gelar master ini sibuk meneliti kopi sambil menyeduhnya dalam cangkir bersama petani binaan.